Minggu, 01 November 2015
Awas, Penebar Kebencian di Media Sosial Bisa Diancam Pidana
Peraturan Anti Hujat (Hate Speech) Sudah Keluar, Para Netizen Harap Hati-hati ya.
👇
Bermacam Hal yang Perlu Diketahui soal Edaran Kapolri tentang "Hate Speech"...
JAKARTA, KOMPAS.com – Setelah dikaji cukup lama, Surat Edaran (SE) Kapolri soal penanganan ujaran kebencian atau hate speech akhirnya dikeluarkan.
SE dengan Nomor SE/06/X/2015 tersebut diteken Jenderal Badrodin Haiti pada 8 Oktober 2015 lalu dan telah dikirim ke Kepala Satuan Wilayah (Kasatwil) seluruh Indonesia.
Dalam salinan SE yang diterima Kompas.com dari Divisi Pembinaan dan Hukum (Divbinkum) Polri, Kamis (29/10/2015), disebutkan bahwa persoalan ujaran kebencian semakin mendapatkan perhatian masyarakat baik nasional atau internasional seiring meningkatnya kepedulian terhadap perlindungan hak asasi manusia (HAM).
Bentuk, Aspek dan Media
Pada Nomor 2 huruf (f) SE itu, disebutkan bahwa “ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain:
1. Penghinaan,
2. Pencemaran nama baik,
3. Penistaan,
4. Perbuatan tidak menyenangkan,
5. Memprovokasi,
6. Menghasut,
7. Menyebarkan berita bohong dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial”.
Pada huruf (g) selanjutnya disebutkan bahwa ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek:
1. Suku,
2. Agama,
3. Aliran keagamaan,
4. Keyakinan atau kepercayaan,
5. Ras,
6. Antargolongan,
7. Warna kulit,
8. Etnis,
9. Gender,
10. Kaum difabel,
11. Orientasi seksual.
Pada huruf (h) selanjutnya disebutkan bahwa “ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan melalui berbagai media, antara lain:
1. Dalam orasi kegiatan kampanye,
2. Spanduk atau banner,
3. Jejaring media sosial,
4. Penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi),
5. Ceramah keagamaan,
6. Media massa cetak atau elektronik,
7. Pamflet.
Pada huruf (i), disebutkan bahwa “dengan memperhatikan pengertian ujaran kebencian di atas, perbuatan ujaran kebencian apabila tidak ditangani dengan efektif, efisien, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, akan berpotensi memunculkan konflik sosial yang meluas, dan berpotensi menimbulkan tindak diskriminasi, kekerasan, dan atau penghilangan nyawa”.
Prosedur penanganan
Adapun, pada nomor 3 SE itu, diatur pula prosedur polisi dalam menangani perkara yang didasari pada hate speech agar tidak menimbulkan diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa dan atau konflik sosial yang meluas.
Pertama, setiap personel Polri diharapkan mempunyai pemahaman dan pengetahuan mengenai bentuk-bentuk kebencian.
Kedua, personel Polri diharapkan lebih responsif atau peka terhadap gejala-gejala di masyarakat yang berpotensi menimbulkan tindak pidana.
Ketiga, setiap personel Polri melakukan kegiatan analisis atau kajian terhadap situasi dan kondisi di lingkungannya. Terutama yang berkaitan dengan perbuatan ujaran kebencian.
Keempat, setiap personel Polri melaporkan ke pimpinan masing-masing terhadap situasi dan kondisi di lingkungannya, terutama yang berkaitan dengan perbuatan ujaran kebencian.
Apabila ditemukan perbuatan yang berpotensi mengarah ke tindak pidana ujaran kebencian, maka setiap anggota Polri wajib melakukan tindakan, antara lain:
- Memonitor dan mendeteksi sedini mungkin timbulnya benih pertikaian di masyarakat,
- Melakukan pendekatan pada pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian,
- Mempertemukan pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian dengan korban ujaran kebencian,
- Mencari solusi perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai dan memberikan pemahaman mengenai dampak yang akan timbul dari ujaran kebencian di masyarakat;
Jika tindakan preventif sudah dilakukan namun tidak menyelesaikan masalah, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui upaya penegakan hukum sesuai dengan:
- KUHP,
- UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
- UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis,
- UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dan
- Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.
Sumber : [kompas]
.
👇
Bermacam Hal yang Perlu Diketahui soal Edaran Kapolri tentang "Hate Speech"...
JAKARTA, KOMPAS.com – Setelah dikaji cukup lama, Surat Edaran (SE) Kapolri soal penanganan ujaran kebencian atau hate speech akhirnya dikeluarkan.
SE dengan Nomor SE/06/X/2015 tersebut diteken Jenderal Badrodin Haiti pada 8 Oktober 2015 lalu dan telah dikirim ke Kepala Satuan Wilayah (Kasatwil) seluruh Indonesia.
Dalam salinan SE yang diterima Kompas.com dari Divisi Pembinaan dan Hukum (Divbinkum) Polri, Kamis (29/10/2015), disebutkan bahwa persoalan ujaran kebencian semakin mendapatkan perhatian masyarakat baik nasional atau internasional seiring meningkatnya kepedulian terhadap perlindungan hak asasi manusia (HAM).
Bentuk, Aspek dan Media
Pada Nomor 2 huruf (f) SE itu, disebutkan bahwa “ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain:
1. Penghinaan,
2. Pencemaran nama baik,
3. Penistaan,
4. Perbuatan tidak menyenangkan,
5. Memprovokasi,
6. Menghasut,
7. Menyebarkan berita bohong dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial”.
Pada huruf (g) selanjutnya disebutkan bahwa ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas yang dibedakan dari aspek:
1. Suku,
2. Agama,
3. Aliran keagamaan,
4. Keyakinan atau kepercayaan,
5. Ras,
6. Antargolongan,
7. Warna kulit,
8. Etnis,
9. Gender,
10. Kaum difabel,
11. Orientasi seksual.
Pada huruf (h) selanjutnya disebutkan bahwa “ujaran kebencian sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan melalui berbagai media, antara lain:
1. Dalam orasi kegiatan kampanye,
2. Spanduk atau banner,
3. Jejaring media sosial,
4. Penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi),
5. Ceramah keagamaan,
6. Media massa cetak atau elektronik,
7. Pamflet.
Pada huruf (i), disebutkan bahwa “dengan memperhatikan pengertian ujaran kebencian di atas, perbuatan ujaran kebencian apabila tidak ditangani dengan efektif, efisien, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, akan berpotensi memunculkan konflik sosial yang meluas, dan berpotensi menimbulkan tindak diskriminasi, kekerasan, dan atau penghilangan nyawa”.
Prosedur penanganan
Adapun, pada nomor 3 SE itu, diatur pula prosedur polisi dalam menangani perkara yang didasari pada hate speech agar tidak menimbulkan diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa dan atau konflik sosial yang meluas.
Pertama, setiap personel Polri diharapkan mempunyai pemahaman dan pengetahuan mengenai bentuk-bentuk kebencian.
Kedua, personel Polri diharapkan lebih responsif atau peka terhadap gejala-gejala di masyarakat yang berpotensi menimbulkan tindak pidana.
Ketiga, setiap personel Polri melakukan kegiatan analisis atau kajian terhadap situasi dan kondisi di lingkungannya. Terutama yang berkaitan dengan perbuatan ujaran kebencian.
Keempat, setiap personel Polri melaporkan ke pimpinan masing-masing terhadap situasi dan kondisi di lingkungannya, terutama yang berkaitan dengan perbuatan ujaran kebencian.
Apabila ditemukan perbuatan yang berpotensi mengarah ke tindak pidana ujaran kebencian, maka setiap anggota Polri wajib melakukan tindakan, antara lain:
- Memonitor dan mendeteksi sedini mungkin timbulnya benih pertikaian di masyarakat,
- Melakukan pendekatan pada pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian,
- Mempertemukan pihak yang diduga melakukan ujaran kebencian dengan korban ujaran kebencian,
- Mencari solusi perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai dan memberikan pemahaman mengenai dampak yang akan timbul dari ujaran kebencian di masyarakat;
Jika tindakan preventif sudah dilakukan namun tidak menyelesaikan masalah, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui upaya penegakan hukum sesuai dengan:
- KUHP,
- UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
- UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis,
- UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dan
- Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.
Sumber : [kompas]
.
Antisipasi Banjir Segera Tiba, Teknik Ini Mampu Menyerap 20 Juta Kubik Air Hujan Hanya dalam Waktu 1 Jam
Dengan bambu yang harganya murah, tehnik ini mampu menyerap 20 juta kubik air hujan hanya dalam waktu 1 jam
Dari beberapa informasi prakiraan cuaca diprediksi akhir oktober 2015 ini, kawasan Indonesia kembali memasuki musim hujan. Tidak perlu dibayangkan lagi setiap hari akan penuh dengan berita banjir, terutama wilayah DKI dan pulau Jawa.
Permasalahan banjir bukan semata-mata tinggi - rendah nya permukaan air laut dari daratan. Bukan pula seberapa cepat selokan drainase mengalirkan air. Namun yang vital adalah daya serap tanah dan tanam-tumbuh di sekitar area publik itu sendiri. Termasuk juga jalan raya, halaman rumah, pekarangan, dan lain sebagainya.
Logika dasar dalam pengelolaan banjir seharusnya dapat menghitung seberapa besar volume air hujan per detik :
- Teralirkan kembali kelaut (drainase).
- Seberapa besar air dapat ditampung sementara dalam bendungan.
- Seberapa besar air dapat terserap kembali ke dalam tanah (pori bumi/ sumur serapan air).
Pada prinsipnya butiran air hujan itu jatuh lurus ke setiap pori bumi. Karena tidak adanya lubang untuk masuk ke dalam tanah maka butiran air hujan berkumpul menjadi genangan dan berubah menjadi bencana banjir.
Dari tiga logis ilmiah di atas, point ke-3 tampaknya belum mendapat perhatian yang serius. Padahal pada dasarnya struktur tanah di bumi ini dapat terjaga dengan baik apabila terdapat kandungan air dibawah tanah yang cukup dan akan kembali menguap menghasilkan udara yang segar di pagi hari, serta menjaga tanah agar tidak rapuh.
Analisa simple tindakan manakah yang lebih baik, apakah memindahkan air hujan ke laut dengan cepat, atau memindahkan air hujan ke dalam bumi dengan sebanyak-banyaknya. Tentu dua tindakan ini sama-sama baik. Namun secara alami aliran air ke laut mengikuti hukum air, tergantung tinggi rendah permukaan air dan faktor penghambatnya adalah drainase. Relatifitas kebaikan tindakan ini lebih kecil karena sudah terhitung jelas dataran Jakarta lebih rendah dari permukaan air laut.
Sedangkan mem-fokuskan tindakan memindahkan air hujan ke dalam perut bumi dengan sebanyak-banyaknya jauh lebih baik dan relatif manfaat yang lebih tinggi. Selain mempertahankan struktur tanah, penguapan air tanah pada cuaca panas dapat menyejukkan udara Kota Jakarta. Apabila fokus tindakan telah dipilih dengan tepat, maka seluruh kemampuan sumber datya perlu digerakkan dengan cara setinggi-tingginya. Melalui sosialisasi, himbauan, percontohan, penggalangan relawan dan upaya lainnya.
Jakarta sebagai pusat perhatian yang setiap tahunnya mengalami kebanjiran dikatakan suatu saat nanti akan tenggelam karena sudah berada di bawah permukaan laut. Menurut pandangan penulis, permukaan tanah menyusut (memadat) dan rapuh akibat semakin berkurangnya sungai bawah tanah. Sungai dan resapan air ini berkurang bukan karena debit hujan yang kurang, malahan sebaliknya, debit hujan sangat besar tetapi tidak bisa terserap ke dalam tanah karena tidak adanya celah pori yang bisa dilalui air. Pengelolaan banjir akibat hujan hanya terfokus pada drainase dan bendungan. Maka semakin rendah kesempatan tanah untuk menyerap air hujan.
Seharusnya diadakan studi di Jakarta, seberapa luas jalan raya, jalan lingkungan, halaman beton, dan luas perumahan yang seharusnya dapat berfungsi sebagai jalur/celah air hujan untuk terserap kembali oleh tanah.
Menyikapi permasalahan banjir di Jakarta ini, penulis mencoba mengemukakan solusi dengan cara membuat Lubang pori bumi di Jakarta. Untuk fasilitas umum seperti jalan raya, halaman perkantoran, dan sejenisnya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk membuat pori bumi. Sedangkan untuk kawasan perumahan sepenuhnya harus dilaksanakan oleh masyarakat secara swadaya, digerakkan oleh tokoh-tokoh masyarakat, Ketua RT, RW dan ormas-ormas yang ada.
Lubang pori bumi yang murah dan efesien dapat dibuat dari bahan bambu, ditanamkan dengan jarak titik per- 3 meter dan ke dalam tanah sekitar 1,5 s/d 2 meter atau sampai menyentuh dasar tanah yang keras. Sedangkan untuk fasilitas umum seperti jalan raya dapat digunakan bahan baja stainless yang dapat bertahan lebih lama. Ilustrasi ditampilkan dalam gambar berikut.
Selain pori-pori bumi, Rumput menjalar dengan daunnya yg lebar, efektif mempunyai daya serap (hisap) yang kuat penahan air.
- Pipa Baja atau bambu kuning yang telah dibuat berbentuk splasher (spray) ditanam sampai menyentuh tanah dasar di bawah aspal sebanyak mungkin dengan jarak tertentu diletakkan di pinggir kiri-kanan jalan, di atasnya berbentuk lobang saringan agar tidak mudah tersumbat oleh material yg besar. Bahan bambu sebagai alternatif biaya lebih murah dan dapat digerakkan secara massal oleh masyarakat.
- Kiri-kanan sebelum saluran drainase, ditanam rumput berdaun lebar yang tumbuh menjalar rapat. efektif sebagai penghisap air.
Tehnik ini sedikit berbeda dengan biopori yang telah lama dilaksanakan banyak pihak. Biopori kurang menjamin ketersediaan lubang tersebut untuk menjamin tetap lancar masuknya air hujan, karena dianjurkan dalam praktek biopori untuk mengisi lubang dengan sampah organik. Biopori yang hanya dibuat dengan cara mengebor tanah tanpa pipa/bambu, rentan akan tertutup kembali oleh guguran dinding lubang tanah.
Dalam biopori yang berisi sampah, isi lubang tentu akan menghambat kecepatan air terserap oleh tanah dalam kondisi hujan deras. Maka dengan menyebutnya sebagai lubang pori bumi, seharusnya lubang harus selalu bersih dari material dan sampah. Bambu adalah solusi yang sangat ekonomis dan dapat menjamin ketersediaan lubang bagi air hujan, dilindungi dengan saringan atas yang bisa setiap waktu dibersihkan.
Dari data yang penulis ketahui bahwa tahun 2015 ini jumlah penduduk DKI Jakarta mencapai 20 juta jiwa lebih.
Dapat dihitung apabila 1 jiwa bertanggung jawab untuk membuat 1 lubang pori, maka dengan hitungan luas lubang pipa/bambu pori bumi yang dibuat seperti ilustrasi di atas sebagai berikut :
- Luas lubang x 20 juta penduduk = 15cm2 x 20 juta lubang. Dengan kedalaman lubang dihitung minimal 1 meter (100cm) maka hasil volume pori bumi adalah seluas 3 juta meter kubik lubang pori bumi.
- Apabila 1 lubang bisa menghisap air hujan 1 meter kubik dalam 1 jam maka terdapat 20 juta meter kubik air hujan yang terserap dalam 1 jam.
Bagi Pemerintah seharusnya dapat ditindaklanjuti dengan Perda atau Peraturan Kepala Daerah dalam bentuk Peraturan Serapan Air Hujan sehingga semua fungsi dan kebijakan terkait dapat mendorong aksi ini menjadi kewajiban semua pihak. Misal dalam menerbitkan IMB wajib dengan menyertakan pembuatan lubang pori, pembangunan jalan raya (aspal) juga mewajibkan penyertaan lubang pori, serta dalam hal-hal lainnya.
Perbandingan antara Biopori, Sumur Serapan dan Pori Bumi.
Menurut pandangan penulis, dasar orientasi biopori secara umum bertujuan untuk peningkatan kesuburan lahan, dan pembuatan pupuk organik (kompos) atau yang dikenal dengan istilah intensifikasi lahan pertanian. Biopori tidak secara khusus dimanfaatkan untuk penanganan banjir. Ketika biopori dianggap mempunyai relevansi dengan penyerapan air, maka berkembanglah penggunaan biopori sebagai rekayasa penanggulangan banjir. Namun tidak bisa melepas tujuan utamanya yaitu untuk peningkatan intensifikasi lahan dan pengolahan pupuk organik.
Berikutnya mengenai Sumur Serapan pada masa sekarang ini dirasa sudah kurang relevan untuk dilaksanakan, karena masalah banjir sudah sampai ke kondisi kronis akibat semakin meluasnya permukaan bumi yang tertutup sebagai dampak pembangunan perkotaan. Dulu sumur serapan dibuat dalam ukuran besar dan dalam sekali di satu lokasi, tujuannya untuk mengisi kembali sungai-sungai bawah tanah. Namun efek penyebaran air serapan tidak bisa menjangkau kawasan yang luas selain dari titik-titik sumur serapan itu sendiri.
Maka solusi Pori Bumi ini adalah bermaksud menyebar sumur serapan air hujan dalam bentuk yang lebih praktis, bisa ditempatkan di semua lokasi tanpa tergantung penentuan lahan khusus.
Walaupun ukuran lobangnya kecil, tapi jumlahnya bisa semaksimal mungkin dengan hasil penyerapan air hujan yang lebih cepat dan pemerataan serapan air tanah lebih luas. Kesimpulannya menurut penulis, bahwa Pori Bumi banyak memiliki kelebihan dibanding biopori dan sumur serapan versi lama.
Keunggulan lainnya yaitu Pori Bumi ini tidak mengganggu pemandangan, tidak mengganggu fasilitas umum, berfungsi sebagai celah-celah air tanah kembali menguap menjadi udara segar di siang hari, dan seluruh masyarakat dapat dengan mudah membuat Pori Bumi di lingkungannya masing-masing.
So far, ini hanya sekedar ide dari kami yang tidak paham dengan teknik-teknik canggih atau rumus-rumus ilmiah yang hebat. Kami hanya ikut nimbrung memberi solusi yang baik.
Terima kasih sudah ikut membaca :)
Sumber
http://www.kompasiana.com/hendribengkulu/antisipasi-banjir-segera-tiba-teknik-ini-mampu-menyerap-20-juta-kubik-air-hujan-hanya-dalam-waktu-1-jam_5633782fb69373c7109a1b7d
Sumber
http://www.kompasiana.com/hendribengkulu/antisipasi-banjir-segera-tiba-teknik-ini-mampu-menyerap-20-juta-kubik-air-hujan-hanya-dalam-waktu-1-jam_5633782fb69373c7109a1b7d
Langganan:
Postingan (Atom)