Pada edisi tahun 1890 ini, dikupas mengenai tradisi mengayau (head-hunting) suku Dayak di Borneo. Saya kutipkan sekelumit tulisan yang tentunya dilihat dari sudut pandang wartawan AS tersebut. Many Dayak tribes are still addicted to head-hunting, a practice which has made their name notorious, and which but lately threatened the destruction of the whole race. It is essentially a religious practice – so much so that no important act in their lives seems sanctioned unless accompanied by the offering of one or more heads. The child is born under adverse influences unless the father has presented a head or two to the mother before before its birth. The young man cannot become a man and arm himself with the mandau or war-club, until he has beheaded at least one victim. The wooer is rejected by the maiden of his choice unless he can produce one head to adorn their new home.
Secara singkatnya disebutkan bahwa tradisi mengayau ini merupakan kehidupan religius suku ini mulai dari saat pemuda akan melamar gadis pilihannya, saat isterinya mengandung dan akan melahirkan, saat anak muda diakui sebagai lelaki yang berhak memanggul mandau semuanya dipersyaratkan dengan head-hunting. Bagian yang menarik perhatian saya adalah paragraf yang menuliskan kata ‘Indonesia’ sebagai berikut: With the gradual spread of Islam the Dayaks of the British and Dutch possession are slowly abandoning their blood-thirsty usage. At the same time the headhunters themselves , strange to say, are otherwise the most moral people in the whole of Indonesia. Nearly all are perfectly frank and honest. (Dengan penyebaran agama Islam, suku Dayak di wilayah jajahan Inggris dan Belanda sedikit demi sedikit meninggalkan tradisi pertumpahan darah ini. Yang sangat mengherankan, pengayau (headhunter) ini boleh dikatakan adalah orang yang paling menjaga moral di seluruh kawasan Indonesia. Hampir semuanya memiliki sifat kejujuran dan keterus-terangan yang paripurna.
Atau menarik pula disimak sebuah artikel mengenai penemuan suku (tribe) cebol di kawasan Papua pada harian ’San Francisco’ tertanggal 13 Juni 1910 dengan judul berita ’Strange Tribe of Dwarfs’. Ya istilah strange dan tribe yang di masa kini tentu terasa sangat rasis, masih dipakai pada masa itu. Paragraf pertama artikel ini berbunyi : The discovery of Dutch New Guinea of a tribe of dwarfs on the bench of the great Snow Mountains is particularly interesting as establishing a new point for the study of the primitive inhabitants, possibly absolute autochthons, of Indonesia. Terjemahan bebasnya : Penemuan suku kerdil Papua Belanda pada tebing Gunung Bersalju teramat menarik didalam peneguhan dasar-dasar baru untuk penelitian penduduk primitif, yang kemungkinan merupakan penduduk asli dari Indonesia. Demikian pula istilah primitive yang dalam wacana modern tidak pernah lagi dipakai, masih galib dituliskan pada zaman itu.
Ada satu lagi artikel mengenai Indonesia yang termuat pada koran ’The Sun’ edisi Minggu 22 Agustus 1909 tentang tanya jawab soal pepatah dalam bahasa Inggris Whistling girls and crowing hens always come to some bad end (Anak gadis yang suka bersiul dan ayam betina yang suka berkokok akan mengalami nasib sial). Dijelaskan di China kalau ada ayam betina yang berkokok, pasti akan disembelih karena membawa kesialan. Lantas bagaimana soal anak gadis yang suka bersiul? Inilah jawabannya : In the Pacific and Indonesia all whistling is taboo to each sex alike, for the whistle is the voice of the minor gods. Saduran tak resminya : Di kawasan Pasifik dan Indonesia semua perbuatan bersiul adalah tabo baik untuk lelaki maupun perempuan, karena siulan adalah suara dari iblis.
Kutipan-kutipan di atas memang terasa bias dan rasis diterapkan pada kekinian, tapi yang ingin saya garis bawahi adalah kenyataan bahwa pada tahun 1890 nama ‘Indonesia’ ternyata sudah eksis dalam percaturan dunia. (Sumber: Kompas.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar